Desa Kedungombo berawal dari sejarah perjuangan kemerdekaan melawan penjajah Belanda ketika masih berbentuk kerajaan. Para pejuang kemerdekaan dari wilayah Grobogan, Jawa Tengah, yang berjuang melawan untuk melawan kompeni di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, kemudian melarikan diri karena terdesak oleh Kompeni Belanda. Di antara pejuang tersebut bernama Ki Musa, yang membuka lahan dengan menebangi hutan, yang kelak menjadi Desa Kedungombo sekitar abad 18. Pada awal berdirinya, Desa Kedungombo dahulu masih menyatu dengan Desa Plosoharjo, Kecamatan Pace dan Desa Pace Kulon.
Mengingat wilayah Desa Kedungombo merupakan hamparan air yang disebabkan oleh aliran sungai sebanyak 4 sungai besar sehingga menyerupai sebuah kedung, maka dinamakan Kedungombo. Lalu, melihat peta wilayah adanya keempat sungat tersebut, daerah ini dimekarkan menjadi Desa Kedungombo dari desa induknya, yaitu Desa Plosoharjo.
Pada masa Agresi Belanda ke 2, pusat pemerintahan Kabupaten Nganjuk pernah berada di Desa Kedungombo dalam masa pengungsian. Desa Kedungombo menjadi daerah basis militer yang ada di sebelah barat sungai Brantas. Beberapa kesatuan lain seperti Seorti CPM, Yon 38 Resimen 34 Surabaya (Marinir), Barisan M, Barisan Rahasia (BARA), dan Batalyon Pancawati (tidak menetap) juga mehetapkan Kedungombo sebagai pusat strategi. Mereka menempati rumah-rumah penduduk setempat yang memungkinkan mereka tempati sebagai markas perjuangan.
Sementara Kapten Kasihin, Letnan Siswohandjojo dan Letnan Joesoef di rumah Bapak Poerwodiharjo Para pejabat pemerintahan Kabupaten Nganjuk ketika itu juga ada disana. Seperti Bupati Nganjuk Mr. Gondowardojo dan Patih Djojokoesoemo di rumah Bapak "H. Nurhasyim". Wedana Anam di rumah Bapak Dipo dan Camat Afandi di Rumah Bapak Djojosoemarto.
Selama perang gerilya perbekalan sangat sulit untuk dikirim dari markas ke tempat perjuangan. Termasuk di desa Kedungombo juga tidak pernah dikirimi perbekalan. Oleh sebab itu semua kebutuhan dicukupi penduduk setempat, termasuk bahan makanan dan pakaian.
Sedangkan amunisi dan bahan peledak tetap dikirim dari kesatuan. Peran penduduk sangat menentukan dalam perjuangan bangsa. Mereka tidak hanya menyediakan tempat dan makanan, tetapi juga menjadi pelaku langsung dalam setiap perjuangan. Hal ini dibuktikan bahwa yang gugur dalam pertempuran di Kedungombo tidak hanya yang tercatat sebagai tentara resmi, tetapi juga penduduk sipil setempat.
Kira-kira pukul 09.00 WIB Kapten Kasihin bersama dengan pengawalnya yang bernama Susah berjalan dari selatan (Tawangrejo) menuju ke arah utara. Baru berjalan beberapa ratus meter mendapat laporan dari seorang mata-mata Republik, bahwa Belanda sudah berada di Balai Desa (berjarak lebih kurag 600 meter dari tempatnya). Mendapat laporan demikian Kasihin tidak menghiraukannya dan terus berjalan ke arah utara.
Beberapa menit kemudian terdengar beberapa kali tembakan di pertigaan gang utara SDN Kedungombo I dan ternyata Kapten Kasihin terkena tembakan. Walaupun sudah tertembak ia berusaha lari ke arah timur sejauh lebih kurang 1 km dan masuk ke dalam rumah seorang penduduk di Tawangsari (rumah Bapak Rasio). Di rumah ini Kapten Kasihin mendapat perawatan tuan rumah sekitar 30 menit, sebelum Belanda menemukannya. Belanda yang mengetahui ada orang tertembak terus mengejarnya dan akhirnya menemukan Kapten Kasihin diturunkan di lantai dan kemudian dibunuh di tempat itu juga, sekitar pukul 09.30 WIB.
Menurut penuturan Ibu Parmi (istri Rasio) yang waktu itu di rumah hanya bersama dua orang anaknya yang masih kecil (satu masih digendong), bahwa Kapten Kasihin sebelum diketemukan Belanda sempat minta minum. Saat akan diberi minum itulah Kasihin mengucapkan kata-kata yang terakhir …. .. : Nggih ngeten niki Bu lhae nglabuhi negeri. ….. (Ya begini inilah, Bu, membela negara).
Setelah dibunuh, Kapten Kasihin ditinggalkan begitu saja oleh Belanda (menurut Ibu Parmi ketika Belanda mengetahui bahwa yang dibunuh berpangkat Kapten, mereka kemudian hormat kepada jenazah Kapten Kasihin. Tanda kepangkatan dilepas dan dibawanya). Jenazah Kapten Kasihin kemudian oleh para pejuang bersama rakyat dibawa ke rumah Kepala Desa untuk diberi penghormatan dan setelah itu dimakamkan di makam Kedungombo di dekat makam Kopral Banggo yang sudah dulu gugur di Desa Josaren Kecamatan Tanjung Anom.
Untuk mengenang jasa Almarhum Kapten Kasihin, sekarang ini di alun-alun Kabupaten Nganjuk berdiri kokoh monumen Kapten Kasihin menghadap ke arah selatan Jl. Ahmad Yani.